Wednesday, June 24, 2009

Rhyming Slang: Wangsalan dan Cockney



Slang adalah sebuah gejala yang biasa dalam hampir setiap bahasa. Sekelompok pemakai bahasa membuat kode-kode rahasia yang hanya bisa dipahami oleh kelompok itu.

Nah yang asyik itu membandingkan dua kota dan dua bahasa. Jogja dan London Timur, apa yang sama? Dua-duanya punya rhyming slang atau slang yang berdasarkan persamaan bunyi.

Pernah dengar belum ‘njanur gunung’ dalam bahasa Jawa? ‘Janur’ adalah daun kelapa muda yang masih muda. Nah pohon kelapa tidak ada di gunung biasanya, yang mirip dengan pohon kelapa adalah pohon aren. Maka kata kuncinya adalah AREN. Jadi janur gunung itu aren, kata yang suaranya mirip adalah “kadi ngaren” yang artinya TUMBEN.

Contoh lain dari wangsalan antara lain:

SARUNG JAGUNG nama lainnya KLOBOT, suara yang mirip ABOT yang artinya BERAT.
JENANG GULA nama lainnya GELALI, suara yang mirip LALI yang artinya LUPA.
BALUNG JANUR nama lainnya SADA, suara yang mirip USADA yang artinya OBAT.
WOHING AREN nama lainnya KOLANG-KALING, suara yang mirip ELING yang artinya INGAT.
RONING MLINJO nama lainnya SO, suara yang mirip NGASO yang artinya ISTIRAHAT.



Nah, siapa mau menambah daftar wangsalan atau rhyming slang dalam bahasa Jawa. Nampaknya dalam Bahasa Indonesia gejala bahasa ini tidak muncul. Rhyming slang yang ada dalam bahasa Indonesia biasanya berbentuk pantun, tanpa ada sesuatu yang tersembunyi.

Nah gejala yang mirip justru ada dalam Bahasa Inggris dialek East London. Rhyming slang di sana biasanya disebut Cockney dialect. Mungkin masyarakat East London karakternya mirip dengan orang Jawa. Menurut salah satu website BBC “East Londoners obviously have more time to say what they want to say, and are more paranoid about being overheard.” (www.bbc.co.uk/dna/h2g2/alabaster/A649)

Masih dari sumber yang sama, contoh Cockney atau rhyming slang di East London antara lain adalah:


ADAM AND EVE maksudnya BELIEVE contohnya: “I don't bloody Adam and Eve it!”
BACON AND EGGS maksudnya LEGS contohnya: “She's got a lovely set of Bacons”
BRITNEY SPEARS maksudnya BEERS contohnya: “Give us a couple of Britney's will ya?”
DOG AND BONE maksudnya PHONE contohnya: “She's always on the Dog.”
LEMON SQUEEZY maksudnya EASY contohnya: “It was Lemon, mate.”

Contoh yang lain misalnya ada di www.businessballs.com/cockney.htm atau www.bbc.co.uk/dna/h2g2/alabaster/A649

Nah jadinya miripkan rhyming slang Jawa dan London? Dua-duanya mengeplotasi kemiripan bunyi. Namun, rhyming slang Jawa lebih rumit karena selain suara wangsalan atau rhyming slang Bahasa Jawa melibatkan arti, sedangkan dalam cockney tidak.

Dalam cockney misalnya, DOG and BONE maksudnya PHONE. Kalau dalam Bahasa Jawa harus tahu artinya dulu baru kemudian mencari kata yang suaranya mirip. JENANG GULA artinya GELALI yang suaranya mirip LALI. Jadi kalau artinya tidak diketahui, antara JENANG GULA dan LALI sepertinya nggak nyambung.

Jadi, wangsalan atau rhyming slang Jawa lebih rumit. Menurut saya wangsalan dan cockney bisa melatih kecerdasan fonologis atau phonology competence. Saya tidak setuju dengan BBC yang mengatakan bahwa rhyming slang itu kurang kerjaan dan paranoid. Ini adalah seni berbahasa yang melatih kecerdasan fonologis.

Lebih jauh, wangsalan juga melatih kecerdasan semantis atau semantic competence karena wangsalan juga melibatkan arti.

Nah akhirnya, selamat melatih kecerdasan fonologis dan semantis dengan membuat wangsalan-wangsalan baru.

Dari berbagai sumber:
www.businessballs.com/cockney.htm
www.bbc.co.uk/dna/h2g2/alabaster/A649

Wednesday, June 10, 2009

Quo vadis, Juragan?

Salamnya Orang Indonesia [bagian Jawa mungkin juga bagian lainnya]


Sebenarnya saya bertanya-tanya, apa sih salam orang Indonesia waktu mereka saling bertemu? Benarkah “Selamat Pagi” dan kawan-kawannya itu. Setelah observasi di lapangan dan berbagai pengalaman ternyata BUKAN.
KESIMPULAN:
Salam orang Indonesia waktu mereka saling bertemu kita dalam perjalanan adalah:

“Dari mana?”
“Mau kemana?”

Dalam bahasa Jawapun demikian.

“Badhe tindak pundi?” Atau ngoko “Neng Endi?”
“Saking pundi?” Ngokonya “Seka
Endi?”


Jadi kebanyakan buku bahasa Indonesia dan Jawa untuk pembelajar asing itu kurang pas. Karena dalam bagian salam yang ditulis biasanya hanya “Selamat Pagi” dan yang sejenisnya. Sepertinya hanya ikut-ikutan buku pelajaran bahasa Inggris.

Nah, sebagai orang yang gemar sociolinguis-chic saya mengamati orang yang lalu lalang dan bertemu di jalan mereka tidak saling menyapa dengan “Selamat pagi” dan sejenisnya tetapi lebih menanyakan “Dari mana, mau ke mana”.

Orang Jawa di desa-desa lebih silly lagi. Sudah tahu pakai caping alias topi bambu dan bawa cangkul masih di Tanya:

“Tindak sabin Pakdhe?” (Mau ke sawah Paman?)


Sebenarnya bias dijawab:

“Apa kowe wuta?” (Apakah kamu buta?)

Karena jelas kan, orang yang bertopi bambu dan membawa cangkul itu pasti akan ke sawah, kok masih bertanya. Tapi sang petanipun tidak kalah absurdnya karena dia menjawab salam anak yang berseragam merah putih, yang membawa tas sekolah itu:

“Iya. Arep menyang sekolah, Le?” (Iya. Akan pergi ke sekolah, Nak?)


Benarkah orang Indonesia [bagian Jawa atau mungkin juga bagian lain] silly and stupid? Bagi yang tidak paham makna salam “Mau kemana?” akan berkata YA orang Indonesia stupid, silly, dan cuma basa-basi.

Saya punya pengalaman mengajar orang Amerika bahasa Indonesia. Suatu hari dia merasa tidak tahan dengan orang Indonesia dan berkata kepada saya.

“Indonesians are very very NOSY. They want to know everything…what I want to do and what I did. Even the doorman at the hotel, he ALWAYS asked me: ‘Mau ke mana?’ and ‘Dari mana?’ It’s none of his business.”


Ada yang menganggap salam “dari mana, mau ke mana” silly dan basa-basi karena sudah jelas. Ada yang menganggapnya sebagai nosy dan ikut campur.

Namun kalau kita selami, salam “dari mana, mau ke mana” mempunyai arti filosofi yang sangat dalam. Dalam bahasa Latin salam ini adalah “QUO VADIS” sebuah pertanyaan yang bisa menyadarkan seseorang tentang tujuan hidup, arah hidup.

Sebuah salam luar biasa yang saling menyadarkan, anak sekolah menyadarkan petani dan petani menyadarkan anak sekolah tentang tujuan hidupnya. Setiap hari orang bertemu di jalan mereka saling menyadarkan tujuan hidup mereka “Quo vadis, mau ke mana?”

Sejarahnya, sapaan inilah yang menyadarkan Petrus akan tujuan hidupnya. Waktu terjadi huru-hara di Roma, di mana orang-orang Kristen dibantai, Petrus mau ngacir menyelamatkan diri. Nah di jalan dia ketemu Yesus.

Petrus bertanya: Domine, quo vadis? (Juragan, mau ke mana nih?)
Yesus menjawab: Eo Romam iterum crucifigi. (Aku mau ke Roma untuk disalib lagi nih.)

Saling sapa inilah yang menyadarkan Petrus tujuan hidupnya.

Jadi, “Dari mana, mau ke mana?” itulah salam yang stupid, silly, nosy, dan basa-basi TETAPI bernilai filosofi yang sangat tinggi.

So, sekarang kita mau kemana? Quo vadis, juragan?




Tuesday, June 9, 2009

Code Switching di Rapat RW

Ini oleh-oleh dari rapat Rw 4 Kelurahan Kotabaru, Yogyakarta. Hipotesa saya sebelum saya mengikuti rapat akan ada banyak code switch antara Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa. Rapat diadakan dalam Bahasa Indonesia, dihadiri oleh pengurus RT, RW, dan Pak Lurah, peserta rapat ada 34 orang.
Seperti dugaan saya code switch dari Bahasa Indonesia ke Bahasa Jawa ada cukup banyak. Misalnya:
-Terima kasih kepada Pak Lurah yang sudah kersa
datang di sela-sela kesibukannya.
Ada yang menarik waktu kata dari bahasa Jawa dipakai karena ada kata yang ada di Bahasa Jawa dan juga Bahasa Indonesia tetapi artinya berbeda. Kata itu adalah kesel dan kumpulan.
-Saya selake datang meskipun saya masih kesel.
-Foto-foto waktu kumpulan bisa ditunjukkan pada
saat lomba antar kelurahan.
Kesel dalam bahasa Jawa berarti capai, namun dalam Bahasa Indonesia bisa berarti marah, atau jengkel. Sedangkan kumpulan dalam bahasa Jawa berarti rapat, sedang dalam bahasa Indonesia berarti koleksi.

Yang sudah saya duga sebelumnya tuh switch ke bahasa Arab dan Inggris. Bahasa Arab dipakai pada awal dan akhir ujaran yaitu frasa:
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh
dan Wasalamu alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh.

Ada dua hal yang menarik dari switch ke Bahasa Inggris. Yang pertama nih adalah code mixing atau yang biasa disebut juga integrated loan words.
- Pak Nala (namanya saya samarkan) biasanya yang berspeak-speak dengan keluarga pemulung yang tinggal
di dekat TPS.
Awalan ber digabung dengan kata speak, dan kata speak diulang, diperlakukan seolah kata Bahasa Indonesia. Hal menarik kedua yang nggak saya duga tuh pemakaian sentential switching, atau seluruh kalimatnya Bahasa Inggris.
- Jadi lomba antar kelurahan ini fair play, nggih
bapak-ibu. My game is fair play.
Yang menarik lainnya adalah kata serapan dari bahasa Inggris yang mirip-mirip suka pada bingung.
- Jadi nanti ada dana untuk intensifinsentif, insentif
nggih…untuk pelaksanaan program nggih…
- Salah satu program kita adalah membuat sumur peresapan untuk konversi air…konservasi…nggih…konservasi air…
Yang sama sekali tidak saya duga adalah masih adanya switch ke Bahasa Belanda, entah disadari atau tidak oleh pemakainya.
- Saya kan tidak datang pada pertemuan itu..kok saya malah dibenum(dibenoem) jadi ketua…
- Sebelum ada kunjungan dari tim penilai paling tidak kita spel sekali upaya tahu mau nabuh apa.
Kata benoumd dalam bahasa Belanda berarti diangkat, kata aktifnya adalah benoumen yang artinya mengangkat. Sedangkan kata spel adalah kata benda yang berarti permainan sandiwara atau bisa juga musik, kata kerjanya adalah spelen yang berarti bermain. Konteks kalimat dalam rapat RW itu adalah latihan bermain gamelan, jadi tidak terlalu jauh juga dari kata aslinya….

Rapat bulan depan suguhannya apa ya? Ada data linguis-chic yang tak terduga dan sedap nggak ya?

Kerata Basa: Ngawurnya (cerdasnya) Orang Jawa


Kali ini obrolan selingan yang tidak berhubungan langsung dengan sociolinguist-chic tapi tetap chic.

Mengapa piring disebut piring, mengapa tidak dinamai plate? Kalau kita Tanya orang Jawa generasi yang agak lama, dia akan jawab: “Piring artinya sePI kalau miRING.”

Nah kalau kita tanya Shakespeare, penulis Inggris yang kondang itu, dia pasti nggak setuju, dia kan pernah nulis gini:


'Tis but thy name that is my enemy;
Thou art thyself, though not a Montague.
What's Montague? it is nor hand, nor foot,
Nor arm, nor face, nor any other part
Belonging to a man.
O, be some other name!
What's in a name? that which we call a rose
By any other name would smell as sweet;
So Romeo would, were he not Romeo call'd,
Retain that dear perfection which he owes
Without that title. Romeo, doff thy name,
And for that name which is no part of thee
Take all myself. (Shakespeare. 1594)

‘Mawar’ meskipun disebut ‘ketela’ tetapa aja sweet, menurut dia. Tapi wong Jawa berpendapat lain. ‘Telinga' itu disebut ‘kuping’ karena kaKU dan njepiPING, nasi disebut ‘sega’ karena mbeseSEG dan menyebabkan leGA. Fenomena inilah yang biasa disebut kerata basa. Fenomena ini sebenarnya bertentangan dengan teori linguistics yang sudah ada.


Menurut teori kan hanya ada 2 hubungan antara bunyi bahasa dan arti. Yang satu onomatopoeic atau menirukan suara alam, misalnya ‘tokek ‘disebut tokek karena suaranya tokek-tokek. Nah yang satunya hubungannya arbitrary, semena-mena, atau ngawur.“…kaum naturalis, percaya adanya hubungan intrinsik antara bunyi bahasa dengan makna yang diacu, dan kaum konvensionalis, beranggapan bahwa hubungan itu hanyalah karena konvensi dan sifatnya sewenang-wenang.”(Sumarsono, 2004)


Rupanya wong Jawa kurang puas dengan penjelasan bahwa hubungan antara bunyi dan arti hanyalah ngawur, maka mereka membuat kengawuran lebih lanjut.


Gedhang= digeget bar madhang (digigit sehabis makan)
Kerikil= keri neng sikil (geli di kaki)

Bahkan kata-kata yang berhubungan dengan teknologi, yang kemungkinan besar adalah kata serapanpun dicarikan arti.


Sepeda= asepe tidak ada (Asapnya tidak ada)
Sepur= asepe metu dhuwur (asapnya
keluar dari atas)

Bisa saja fenomena ini dianggap sebagai sebuah kengawuran wong Jawa, tetapi bisa juga dipandang sebagai semacam filsafat bahasa gitu.

Coba simak yang ini, pemaknaan terhadap kata melalui kerata basa yang mengacu pada ide yang lebih bersifat abstrak. Pemaknaan ini lebih mendalam yang berhubungan dengan nilai ketuhanan.

Ndelalah atau ndilalah yang berarti kebetulan adalah bukan kebetulan sama sekali bagi orang Jawa. Ini menunjukkan sebuah religiositas yang sangat tinggi karena selalu ada campur tangan Tuhan dalam setiap peristiwa, dalam setiap kebetulan.


1. ndelalah = ngandel marang Allah ( percaya kepada Tuhan)

2. ndilalah = adiling Allah (keadilan Tuhan)


Nah pemakai bahasa Jawa generasi lama berusaha memaknai arbitrariness kata dan makna. Pemakai bahasa senantiasa berusaha memahami hidup melalui pemaknaan terhadap kata. Kita sekarang bagaimana ya? ….mana sempat…
Tapi kayaknya asyik lho dicoba…memaknai hidup melalui pemaknaan kata. Misalnya KOMPUTER atau FACEBOOK [pesbuk]… apa ya makna ngawurnya? Siapa mau coba? Siapa punya kerata basa baru?


Referensi:

Robson, Stuart dan Singgih Wibisono. 2002. Javanese English Dictionary. Hongkong: Periplus Edition Ltd.

Arifin, Syamsul. 2006. Tata Bahasa Jawa Mutakhir. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Piyono, Joko. 2005. Kawruh Pepak Basa Jawa Anyar. Surakarta: Penerbit Pustaka Mandiri.

Sumarsono. 2004. Buku Ajar Filsafat Bahasa. Jakarta: Grasindo.

Crane, Tim. 1995. Meaning. Dalam Honderich, Tom (ed.) The Oxford Companion to Philosophy. Oxford: Oxford University Press.

Wednesday, May 20, 2009

Code Switching a.k.a. Es Campur (part 2) [6]

Menanggapi beberapa pertanyaan pembeli es code switching yang budiman: jadi memang ada yang membedakan switching dengan mixing berdasarkan kefasihan pemakainya. Kalau switching itu fasih dua-duanya, nah kalau mixing itu karena gak nemu kata yang pas terus cari kata atau ekspresi di bahasa lain.

Nah, 7 mahasiswa yang sedang skripsi bertema code switch (Kalau dalam cerita Eropa: Pangeran Salju dan 7 Kurcaci, kalau dalam cerita Oriental: Kungfu Master and 7 swords) yang diutak-atik adalah bahasa tulis. Ada yang mengutak-atik Koran local, Koran nasional, Tabloid, majalah wanita, majalah remaja, dan majalah terjemahan. Jadi semuanya ada 21 media massa. Hasilnya sudah mulai nampak mengasyikan tapi belum semua kelar. Juni, touch wood, semoga mereka selesai.

Yang bisa kita nikmati bersama saat ini adalah hasil utak-atik mahasiswa yang mengambil mata kuliah sociolinguist-chic. Semester ini saya membiarkan mereka menjadi sociolinguists dan nampaknya ini lebih efektif. Kalau ujian teori tertulis yang tidak lolos 25%, tapi kalau dilepas di lapangan ternyata hasilnya asyik-asyik.

Yang mengutak-atik CS di TV dan radio ada 5 kelompok. Kalau radio local jogja biasanya campurnya 3 bahasa: Jawa, Indonesia, dan Inggris. Sedang acara TV nasional biasanya switchnya antara 2 bahasa Indonesia Inggris saja. Nah yang paling menarik adalah acara masak-memasak, switchnya bisa sampai 4 bahasa: Jawa, Indonesia, Inggris, dan Itali.

Hmmmak nyus crispy-nya.”
“rasanya sedikit al dente tetapi nggak blenyek” (Kristina, Andang P, Galuh. 2009)

Sebagian lain mahasiswa membahas CS di media cetak seperti Koran, tabloid, dan majalah. Temuannya predictable yaitu campuran Bahasa Indonesia dan Inggris. Yang cukup menarik adalah justru Koran local yang mencampur 4 bahasa: Jawa, Indonesia, Inggris, dan Arab.

“Sistem pemilu dengan suara terbanyak kelihatannya akan cukup mumpuni untuk dijadikan ijtihad memperbaiki…”
“Termasuk skandal whistle blower Agus Condro yang mandeg.” (Hapsari, Kusumasari, Hertanu. 2009)

Yang lain lagi, mengamati teman mereka di kelas maupun diluar kelas dalam berinteraksi. Hasilnya juga predictable. Bahasa yang dipakai 3: Jawa, Indonesia, dan Inggris.

Sebagian lagi meneliti attitudes terhadap CS. Memang ada yang beraliran naturalis yang berkata bahwa CS memang fenomena yang tidak terhindarkan. Tapi yang beraliran puritan tentu menganggap CS memperkosa bahasa.Attitudes Anda yang mana? Memperkosa atau menikahkan bahasa?

Code Switching and Code Mixing: Es Campurnya Bahasa (5)

Mari membayangkan es buah PK atau es teller 77…. Enak gak? Uenak tenan. Semakin banyak buahnya semakin enak. Mau buah apa saja? Gimana nyampurnya? Kenapa harus dicampur?

Nah dalam diglossic atau polyglossic speech communities, bahasa itu seperti semangkuk es buah. Kalau diglossic ya buahnya dua jenis nangka dan nanas, Kalau polyglossic, ya buahnya macam-macam. Dalam satu ujaran ada banyak bahasa, ini code switching(CS), kalau dalam satu kata ada dua unsur bahasa itu code mixing(CM) misalnya: ngupload, ndownload, ngeprint, facebookan, dll. Tapi ada juga yang tidak membedakan CS dan CM alias pada baen.

Jenis Code Switching
Nah kayak resep membuat es buah, tiap pejual kan lain-lain nyampurnya. CSpun begitu, ada beberapa jenis Hampir di semua tempat di Indonesia orang suka banget dengan eS Campur alias CS. Dari Jogja ke Madura, Bali, Kalimantan, Lampung mereka suka es campur dengan nuansa buah local.

Nah ini contoh-contoh CS dari Koran-koran lokal


Aroma lokal apa yang muncul di koran-koran itu. di Jogja ada bahasa Jawanya, Bali, Banjarmasin, dan Lampung sami mawon. Bahkan ada campuran dari Bahasa Inggris, Arab, dan Sangsekerta. Jadi es campur a.k.a. Code Switching itu memang gak bisa dihindari. Cara mencampurnyapun macam-macam.

Maka Sebenarnya jenis CS bisa dibagi jadi 6.
(1) nyampurnya sebagian atau CM
(2) Nyampurnya kata atau word saja
(3) Nyampurnya phrase
(4) Nyampurnya clause
(5) Nyampurnya sentence
(6) Nyampurnya satu discourse atau biasa di bilang diglossic switch

Alasan Code Switching
Sama seperti orang buat es campur, alasannya ada banyak. Ada yang bilang biar warnanya asyik, ada yang bilang biar rasanya asyik, ada lagi yang bilang biar vitaminya lengkap. Nah kalau CS alasannyapun macam-macam. Antara lain untuk nyombong atau bergaya; untuk menunjukkan jape methe alias solidaritas; atau untuk mengutip biar persis aslinya.

Semester ini saya ngajar sosiolinguis-chic dengan project-based approach, jadi ada banyak paper yang asyik-asyik dari tugas mahasiswa. Juga ada 7 mahasiswa skripsi yang menggarap CS, jadi ada seri 2 untuk CS.

Jogja panas hari ini…jadi minum es campur dulu…..

Sunday, May 17, 2009

Diglossia: Tinggian siapa se?

Gambar ini adalah foto dua nama jalan di dua kota yang berbeda. Bisakah menebak di kota mana saja? Jend. Sudirman dan Diponegoro memang sangat populer sebagai nama jalan di Indonesia. Yang pasti keduanya dari kota di Jawa. Hanya saja dua kota itu punya attitude yang berbeda terhadap bahasa Jawa. Yang satu menganggap bahasa Jawa bernilai dan yang satunya mungkin tidak menganggap penting.

Nah DIGLOSSIA tuh keberadaan dua variasi bahasa dalam satu speech community. Satunya dianggap sebagai high variety (H) dan yang lain dinggap low variety (L). Diglossia sih biasanya bisa diartikan sempit sebagai dua variasi dari bahasa yang sama. Sedangkan kalau arti luas bisa dua bahasa yang sama sekali berbeda. Nah yang mempopulerkan ini sebenarnya sih si Ferguson (1956) [bukan Alex Ferguson MU]. Dia mengutak-atik bahasa Arab dan menemukan bahwa ada dua varian dari bahasa Arab yaitu yang klasik dan yang dipakai sehari-hari. Yang dipakai sehari-hari dan yang klasik punya fungsi yang beda.

Contoh yang gampang sih kayak Bahasa Indonesia standar dan dialek Betawi. BI standar dipakai di TV, koran, sastra dsb. Dialek Betawi hanya untuk ngobrol-ngobrol saja kan. Nah coba kalau puisi Chairil Anwar ditulis pakai dialek Betawi...pasti banyak yang protes.

“Kalau sampai waktuku/ ku mau tak seorang kan merayu" (Anwar,
…)
"Kalo waktu gue dah nyampe/gue gak mau loe atau nyang laen
ngerayu"
Arti diglossia yang lebih luas adalah dua bahasa ada dalam satu speech community. Contohnya hampir di semua tempat di Indonesia. Misalnya di Bali pasti ada Bahasa Bali dan Bahasa Indonesia; di Madura; di Jawa; di Sunda, bahkan di banyak tempat jadi polyglossia. Kayak di Batak misalnya ada Batak Toba, Batak Karo, dan Bahasa Indonesia. Di daerah perbatasan dua speech community misalnya antara Jateng dan Jabar pasti ada Bahasa Sunda, Jawa, dan Indonesia. Belum lagi ditambah Bahasa Inggris, China, dan Arab. Gak percaya? Ambilah sebungkus mie instant. Lihat kemasannya... instruksinya Bahasa Indonesia dan Inggris, halal-nya tulisan Arab, merk tertentu ada tulisan Chinanya.

Toleh kanan...toleh kiri....baca-baca....polygossic banget ya?

Nah kalau masalah H dan L tadi itu tergantung pada attitudes pemakai bahasa. Orang Bali misalnya (Jody, Verdi, Putu (07)(05)) kalau ditanya tinggian mana Bahasa Indonesia dan Bahasa Bali. Pasti jawabnya gak sama. Orang Jawa, Sunda, Tionghoa, Batak, dll pasti juga bingung, karena emang attitude terhadap bahasa sering ambivalen...plin-plan dan gak jelas. Rapat RW di Kotabaru pakai Bahasa Indonesia, karena dianggap H dan Bahasa Jawa dianggap L, tapi di Kadipaten Kidul rapat RWnya pakai Bahasa Jawa, karena Bahasa Jawa H dan Bahasa Indonesia L.


Lihat lagi bungkus mie instannya. Ikuti instruksinya...tambah telor....selamat makan.

Thursday, May 14, 2009

Language Choice: Loe Mau Ngomong Apa?

Kalau di obrolan sebelumnya kita mengutak-atik scope of sociolinguist-chic dan contohnya adalah how pronunciation atau lebih tepatnya accent can cost lives (mengenang Bu In, dosen pronunciation luar biasa yang selalu menekankan akurasi, RIP), kali ini obrolan ini untuk mengenang Pak Hendro dosen reading aloud [a lot] (karena alot untuk lidah ngGodean saya) yang kalau ada mahasiswa yang reading-nya sasar-susur alias tidak karuan, beliau bilang: “Kowe ki arep matur apa?” yang bahasa gaulnya “Loe mo ngomong apa?”

Kita beruntung lahir dalam multilingual community alias masyarakat dengan banyak bahasa. Di Indonesia kebanyakan orang bisa berbicara paling tidak dua bahasa. Generasi yang lebih muda biasanya mengerti 3 bahasa, bahasa lokal, bahasa Indonesia dan Inggris.

Lebih hebatnya lagi, kita punya kecerdasan sosiolinguis-chic atau yang biasa disebut sociolinguitic competence karenanya. Orang gak harus mikir mau ngomong pakai bahasa apa waktu ketemu orang lain, langsung aja omong Jawa, Sunda, Indonesia, Mandarin, atau Inggris. Anak kecil aja langsung cerdas kalau dengan orang tua pakai bahasa lokal, kalau ketemu gurunya langsung pakai bahasa Indonesia. Coba bayangkan kalau harus mikir, kan jadi ribet.

Dulu orang yang ngomong satu bahasa saja itu yang dianggap orang normal oleh para ahli bahasa Eropa, kalau bisa ngomong banyak bahasa itu gak normal (mungkin karena kebanyakan masyarakat Eropa monolingual, jadi mereka ngiri dan kita-kita ini dianggap gak normal) padahal pada kenyataannya norma masyarakat adalah multilingual.

Coba bisa gak sehari ngomong pakai satu bahasa saja? Gak boleh pakai kata dari bahasa lain? Gak boleh ganti dari bahasa formal ke bahasa gaul? Atau seharian ngomong pakai bahasa gaul saja? Kalau pakai bahasa formal terus hidup jadi garing, kalau pakai bahasa gaul terus pasti ada banyak orang tua tersinggung, kan?

Nah coba sekarang lihat linguistic repertoire-mu sendiri alias kebiasaan berbahasamu. Apa saja yang mempengaruhi pilihan bahasamu?

1. Kalau kamu berbicara dalam lingkup keluarga, dengan bapakmu, tempatnya di rumah, topiknya merancang pesta penikahan kakakmu, bahasa apa yang kamu pakai? ……………………………………..

2. Kalau kamu berbicara dalam lingkup pertemanan, dengan teman sekelasmu, tempat di kampus, topiknya bintang film favorit, bahasa apa yang kamu pakai? …………………………………………………….

3. Kalau kamu berbicara dalam lingkup perkuliahan, dengan dosenmu, tempatnya di dalam kelas, topiknya perkuliahan yang sulit, bahasa apa yang kamu pakai? ……………………………………………….

Apa jawaban untuk tiga pertanyaan tadi? Which code do you use? Code mana yang kamu pakai? Code sih sebenarnya cuma istilah kerennya bahasa.

Tiga pertanyaan tadi sih masih bisa diperpanjang, misalnya kalau ngomong sama anjing pakai bahasa apa ya? (Tanya Dini (07), Patricia (04), Dea (05), atau BC (90). Kalau ngomong sama makluk halus pakai which code ya? (Tanya Mas Danang).

Nah ini contoh code yang ganti-ganti karena berbagai alasan.

Nah jadinya pilihan kode atau bahasa apa yang dipakai diantaranya dipengaruhi oleh: Domain (apa ranah obrolannya), addressee (ngomongnya sama siapa), topic (ngomongin apa), dan setting (ngobrolnya dimana). Setuju? Kalau gak percaya Tanya deh pada Holmes, Trudgill, dan Wardaugh dan teman-temannya.

Referensi:

Fishman, Joshua A. 1997. “The Socilogy of Language” in Sociolinguistics: a Reader and Coursebook . Coupland, Nikolas and Adam Jaworsky (eds.). New York: Palgrave.

Trudgill, Peter. 2000. Sociolinguistics: An Introduction to Language and Society. London: Penguin Books Ltd.

Sunday, May 10, 2009

Sociolinguis-chic: The Scope

Nah kalau kemarin kita ngutak-atik bagaimana sebuah form of address dan pronoun alias sapaan dan kata ganti bisa menggendong banyak makna yang tersirat, sekarang pertanyaannya: sebenarnya pada ngapain sih orang-orang kurang kerjaan yang kita sebut sociolinguists ini.
Misalnya orang-orang kayak Dell Hymes, William Labov, Joshua A. Fisman, atau Prof. Dr Soepomo Poedjosoedarmo atau yang biasa kita kenal sebagai Pak Pomo yang ngajar di S2 Kajian Bahasa Inggris USD.

Sebenarnya sih banyak yang bisa kita kerjakan dengan sociolinguis-chic, atau juga banyak manfaatnya kalau tahu dikit-dikit tentang sociolinguis-chic. Nyaleg kalau tahu socioling bakal terpilih, jualan lebih laris, belanja bisa lebih murah bahkan gratis. Singkatnya bisa pinter omong besar. Kenapa?

Karena menurut si Fishman (1997) nih sociolinguis-chic bermain-main dengan karakter variasi bahasa, fungsi bahasa, dan karakter penutur bahasa itu. Sedangkan kalau menurut si Janet Holmes (2001) sociolinguis-chic mengutak-atik hubungan antara bahasa dan masyarakat. Kenapa kita ngomongnya beda di konteks yang berbeda? Apa sih fungsi dan arti sosial bahasa? Nah dengan menguping orang ngomong kita paham hubungan sosial dalam sebuah masyarakat, dan bagaimana orang yang ngomong menunjukan identitas social mereka.

Penting gak sih?
Ternyata penting banget, masalah variasi bahasa misalnya, bukan sekedar masalah belanja dapat murah tapi masalah hidup dan mati. Bukan hanya masalah kalau ngomong Jawa kromo inggil bisa beli batik murah di pasar Beringharjo Jogja atau kalau bisa bilang lak ban go bisa dapat diskon di toko besi.

Aksen adalah masalah hidup atau mati.
Accent, a variety of speech differing phonetically from other varieties atau aksen atau
perbedaan ucapan (Matthews, 1997) bisa menjadi masalah yang serius. Cerita yang paling klasik adalah kata "Shibboleth" dalam Injil dalam kitab Hakim-hakim bab 12 ayat 6.

"...an incident recorded in the Bible as occuring over 3000 years ago. In a bloody incident involving two groups of Jews, the Gileadites and the Ephraimites, the victorious Gileadites impose a linguistic test on their opponents. Those who could not pronounce the 'sh' of "shibboleth" (meaning a river) but adopted the Ephraimite 's' were to be killed. For this reason, 42,000 men of Ephraim perished (Judges 12:6)" (Hodge and Kress, 1997).
Jadi yang aksennya beda, 's' bukan 'sy' dibunuh. Mungkin bagi yang percaya Injil sebagai catatan sejarah yang valid akan bilang setuju. Tapi bagi yang gak percaya akan menganggapnya sebagai dongeng saja. Tetapi ini kisah yang lebih baru, dari tahun 1999 dan 2001 ketika ada konflik antara Etnis Dayak dan Madura.

“Jayadi tak tahu pasti mengapa bisa lolos. Ia menduga, rombongan lelaki itu dari suku Dayak Iban, yang dikenal punya penciuman tajam. Seperti dilaporkan wartawan Gatra Suhartono, Dayak Iban inilah yang keluar-masuk kampung melakukan pemeriksaan lewat aroma. Kalau ada yang dianggap orang Madura, mereka berteriak, ''Di sini ada sapi....''

Yang tak punya kemampuan seperti itu melakukan seleksi secara konvensional, lewat bahasa. Warga pendatang disuruh menghitung satu sampai sepuluh, lalu diminta melafalkan kata ''kuning''. Bila sepuluh diucapkan sepoloh, dan koning untuk warna kuning, nyawa bisa putus.” (Indra, Fitriyah, Tantan, 2001)

Ini salah satu konflik sosial yang mengandung unsur kebahasaan. Variasi bahasa, perbedaan aksen [u] dan [o] bisa menjadi fatal. Contoh lain yang melibatkan sociolinguist adalah kasus penghinaan pejabat di media massa.

“Yayah B.K. Lumintaintang, 60 tahun, saksi ahli yang dihadirkan dalam sidang lanjutan perkara penghinaan terhadap Presiden Megawati, menilai judul-judul dan isi berita yang dimuat di harian Rakyat Merdeka tidak menghina presiden.” (Arvian, 2003)


Lumintaintang adalah seorang sosiolinguist dari Universitas Indonesia. Jadi bermain-main dan mengutak-atik bahasa dalam konteks sosial penting gak sih. Pikir sendiri. (http://www.sociolinguis-chic.blogspot.com/)

Referensi:
Arvian, Yandhrie. 2003. Saksi Ahli Menilai Harian Rakyat Merdeka Tidak Menghina Presiden www.tempo.co.id/hg/nasional/2003/08/04/brk,20030804-41,id.html

Fishman, Joshua A. 1997. “The Socilogy of Language” in Sociolinguistics: a Reader and Coursebook . Coupland, Nikolas and Adam Jaworsky (eds.). New York: Palgrave.

Matthews, P.H. 1996. Oxford Concise Dictionary of Linguistics. Oxford: OUP

Tantan, Hidayat, Nurul Fitriyah, dan Sigit Indra. 2001. Kayau-mengayau Membelah Sampit.
www.gatra.com/versi_cetak.php?id=4589

Friday, May 8, 2009

Sociolinguis-chic: Introduction (1)

Ouda Teda Ena
Sociolinguis-chic adalah istilah saya untuk sosiolinguistics. Mengapa harus diplesetkan ya? Saya kira bukan sekedar permainan kata supaya tidak membosankan tetapi juga memberi makna baru. Tetapi bukan sociolinguis-chick lho ya...

Chic adalah bahasa Perancis yang diadopsi ke bahasa Inggris yang artinya stylish alias keren tetapi kalau chick kan artinya anak ayam yang konotasinya kadang negatif, murahan atau penakut. Tapi bagi yang tidak suka linguistics karena dipikirnya membosankan mungkin istilah linguis-chick lebih tepat.

Menurut saya sosiolinguistics sangat chic, sangat keren. Kenapa? Lihat contoh-contoh social interactions dari Face Book berikut ini. Beberapa nama telah disamarkan demi alasan keamanan dan kenyamanan.


























Nah dari 8 contoh interaksi di FB tersebut ada berapa sapaan untuk saya? Ada berapa kata ganti untuk saya? Ada berapa bahasa yang dipakai? Kira-kira kenapa ya?

Nah giliran Anda, ada berapa sapaan untuk Anda? Adakah yang Anda sukai? Adakah sebutan yang Anda benci? Kenapa ya?

Itulah diantaranya tema-tema sociolinguis-chic. Chic kan? Area yang diutak-atik oleh sociolinguis-chic adalah bahasa yang dipakai dalam komunitas dan hubungannya dengan berbagai faktor sosial. Faktor sosial itu antara lain usia, gender, kelas sosial, ethnicity, komunitas, dan daerah. Sociolinguis-chic juga mengutak-atik hubungan bahasa dan power.

Coba lihat lagi contoh-contoh di atas. Forms of address atau sapaan untuk saya bermacam-macam. ESW menyapa saya dengan first name lengkap "Ouda" tapi RR, dalam contoh kedua menyapa saya dengan "Da" saja. Sedangkan AYS menyapa saya dengan "Om", AS dengan "Kang", VI dengan "Camerad", BB dengan "Dab", MY dengan "Pak", dan OAJ menyapa dengan "Mas". Bahkan FAP memanggil saya "Ndoro" sapaan honorific Jawa jaman feodal. Jadi dari sembilan contoh interaksi itu ada 9 forms of address yang berbeda-beda. Kenapa ya?

Perhatikan juga pemakaian pronoun atau kata gantinya. Ada "Kamu"; "You"; "Anda"; "Kowe"; dan "Sampeyan". Kenapa lagi ya?

Belum lagi campuran bahasa yang dipakai. Contoh pertama misalnya, mencampur tiga bahasa: Inggris, Indonesia, dan Jawa. Kenapa juga ya?

Mengasyikan memang mengutak-atik speech events atau peristiwa kebahasaan. Nah yang bagian pertama dan kedua nanti kita coba otak-atik di pakai teori politeness sedang bagian ketiga dilihat dengan mata code switch alias alih kode.

Untuk sementara waktu, pikir-pikir dulu Anda pernah disapa dengan sebutan apa saja dan kalau berbicara berapa bahasa yang Anda campur aduk. Kenapa ya? Es campur bahasa resepnya apa ya? Campurannya enak atau kadang jayus ya?