Wednesday, May 20, 2009

Code Switching a.k.a. Es Campur (part 2) [6]

Menanggapi beberapa pertanyaan pembeli es code switching yang budiman: jadi memang ada yang membedakan switching dengan mixing berdasarkan kefasihan pemakainya. Kalau switching itu fasih dua-duanya, nah kalau mixing itu karena gak nemu kata yang pas terus cari kata atau ekspresi di bahasa lain.

Nah, 7 mahasiswa yang sedang skripsi bertema code switch (Kalau dalam cerita Eropa: Pangeran Salju dan 7 Kurcaci, kalau dalam cerita Oriental: Kungfu Master and 7 swords) yang diutak-atik adalah bahasa tulis. Ada yang mengutak-atik Koran local, Koran nasional, Tabloid, majalah wanita, majalah remaja, dan majalah terjemahan. Jadi semuanya ada 21 media massa. Hasilnya sudah mulai nampak mengasyikan tapi belum semua kelar. Juni, touch wood, semoga mereka selesai.

Yang bisa kita nikmati bersama saat ini adalah hasil utak-atik mahasiswa yang mengambil mata kuliah sociolinguist-chic. Semester ini saya membiarkan mereka menjadi sociolinguists dan nampaknya ini lebih efektif. Kalau ujian teori tertulis yang tidak lolos 25%, tapi kalau dilepas di lapangan ternyata hasilnya asyik-asyik.

Yang mengutak-atik CS di TV dan radio ada 5 kelompok. Kalau radio local jogja biasanya campurnya 3 bahasa: Jawa, Indonesia, dan Inggris. Sedang acara TV nasional biasanya switchnya antara 2 bahasa Indonesia Inggris saja. Nah yang paling menarik adalah acara masak-memasak, switchnya bisa sampai 4 bahasa: Jawa, Indonesia, Inggris, dan Itali.

Hmmmak nyus crispy-nya.”
“rasanya sedikit al dente tetapi nggak blenyek” (Kristina, Andang P, Galuh. 2009)

Sebagian lain mahasiswa membahas CS di media cetak seperti Koran, tabloid, dan majalah. Temuannya predictable yaitu campuran Bahasa Indonesia dan Inggris. Yang cukup menarik adalah justru Koran local yang mencampur 4 bahasa: Jawa, Indonesia, Inggris, dan Arab.

“Sistem pemilu dengan suara terbanyak kelihatannya akan cukup mumpuni untuk dijadikan ijtihad memperbaiki…”
“Termasuk skandal whistle blower Agus Condro yang mandeg.” (Hapsari, Kusumasari, Hertanu. 2009)

Yang lain lagi, mengamati teman mereka di kelas maupun diluar kelas dalam berinteraksi. Hasilnya juga predictable. Bahasa yang dipakai 3: Jawa, Indonesia, dan Inggris.

Sebagian lagi meneliti attitudes terhadap CS. Memang ada yang beraliran naturalis yang berkata bahwa CS memang fenomena yang tidak terhindarkan. Tapi yang beraliran puritan tentu menganggap CS memperkosa bahasa.Attitudes Anda yang mana? Memperkosa atau menikahkan bahasa?

Code Switching and Code Mixing: Es Campurnya Bahasa (5)

Mari membayangkan es buah PK atau es teller 77…. Enak gak? Uenak tenan. Semakin banyak buahnya semakin enak. Mau buah apa saja? Gimana nyampurnya? Kenapa harus dicampur?

Nah dalam diglossic atau polyglossic speech communities, bahasa itu seperti semangkuk es buah. Kalau diglossic ya buahnya dua jenis nangka dan nanas, Kalau polyglossic, ya buahnya macam-macam. Dalam satu ujaran ada banyak bahasa, ini code switching(CS), kalau dalam satu kata ada dua unsur bahasa itu code mixing(CM) misalnya: ngupload, ndownload, ngeprint, facebookan, dll. Tapi ada juga yang tidak membedakan CS dan CM alias pada baen.

Jenis Code Switching
Nah kayak resep membuat es buah, tiap pejual kan lain-lain nyampurnya. CSpun begitu, ada beberapa jenis Hampir di semua tempat di Indonesia orang suka banget dengan eS Campur alias CS. Dari Jogja ke Madura, Bali, Kalimantan, Lampung mereka suka es campur dengan nuansa buah local.

Nah ini contoh-contoh CS dari Koran-koran lokal


Aroma lokal apa yang muncul di koran-koran itu. di Jogja ada bahasa Jawanya, Bali, Banjarmasin, dan Lampung sami mawon. Bahkan ada campuran dari Bahasa Inggris, Arab, dan Sangsekerta. Jadi es campur a.k.a. Code Switching itu memang gak bisa dihindari. Cara mencampurnyapun macam-macam.

Maka Sebenarnya jenis CS bisa dibagi jadi 6.
(1) nyampurnya sebagian atau CM
(2) Nyampurnya kata atau word saja
(3) Nyampurnya phrase
(4) Nyampurnya clause
(5) Nyampurnya sentence
(6) Nyampurnya satu discourse atau biasa di bilang diglossic switch

Alasan Code Switching
Sama seperti orang buat es campur, alasannya ada banyak. Ada yang bilang biar warnanya asyik, ada yang bilang biar rasanya asyik, ada lagi yang bilang biar vitaminya lengkap. Nah kalau CS alasannyapun macam-macam. Antara lain untuk nyombong atau bergaya; untuk menunjukkan jape methe alias solidaritas; atau untuk mengutip biar persis aslinya.

Semester ini saya ngajar sosiolinguis-chic dengan project-based approach, jadi ada banyak paper yang asyik-asyik dari tugas mahasiswa. Juga ada 7 mahasiswa skripsi yang menggarap CS, jadi ada seri 2 untuk CS.

Jogja panas hari ini…jadi minum es campur dulu…..

Sunday, May 17, 2009

Diglossia: Tinggian siapa se?

Gambar ini adalah foto dua nama jalan di dua kota yang berbeda. Bisakah menebak di kota mana saja? Jend. Sudirman dan Diponegoro memang sangat populer sebagai nama jalan di Indonesia. Yang pasti keduanya dari kota di Jawa. Hanya saja dua kota itu punya attitude yang berbeda terhadap bahasa Jawa. Yang satu menganggap bahasa Jawa bernilai dan yang satunya mungkin tidak menganggap penting.

Nah DIGLOSSIA tuh keberadaan dua variasi bahasa dalam satu speech community. Satunya dianggap sebagai high variety (H) dan yang lain dinggap low variety (L). Diglossia sih biasanya bisa diartikan sempit sebagai dua variasi dari bahasa yang sama. Sedangkan kalau arti luas bisa dua bahasa yang sama sekali berbeda. Nah yang mempopulerkan ini sebenarnya sih si Ferguson (1956) [bukan Alex Ferguson MU]. Dia mengutak-atik bahasa Arab dan menemukan bahwa ada dua varian dari bahasa Arab yaitu yang klasik dan yang dipakai sehari-hari. Yang dipakai sehari-hari dan yang klasik punya fungsi yang beda.

Contoh yang gampang sih kayak Bahasa Indonesia standar dan dialek Betawi. BI standar dipakai di TV, koran, sastra dsb. Dialek Betawi hanya untuk ngobrol-ngobrol saja kan. Nah coba kalau puisi Chairil Anwar ditulis pakai dialek Betawi...pasti banyak yang protes.

“Kalau sampai waktuku/ ku mau tak seorang kan merayu" (Anwar,
…)
"Kalo waktu gue dah nyampe/gue gak mau loe atau nyang laen
ngerayu"
Arti diglossia yang lebih luas adalah dua bahasa ada dalam satu speech community. Contohnya hampir di semua tempat di Indonesia. Misalnya di Bali pasti ada Bahasa Bali dan Bahasa Indonesia; di Madura; di Jawa; di Sunda, bahkan di banyak tempat jadi polyglossia. Kayak di Batak misalnya ada Batak Toba, Batak Karo, dan Bahasa Indonesia. Di daerah perbatasan dua speech community misalnya antara Jateng dan Jabar pasti ada Bahasa Sunda, Jawa, dan Indonesia. Belum lagi ditambah Bahasa Inggris, China, dan Arab. Gak percaya? Ambilah sebungkus mie instant. Lihat kemasannya... instruksinya Bahasa Indonesia dan Inggris, halal-nya tulisan Arab, merk tertentu ada tulisan Chinanya.

Toleh kanan...toleh kiri....baca-baca....polygossic banget ya?

Nah kalau masalah H dan L tadi itu tergantung pada attitudes pemakai bahasa. Orang Bali misalnya (Jody, Verdi, Putu (07)(05)) kalau ditanya tinggian mana Bahasa Indonesia dan Bahasa Bali. Pasti jawabnya gak sama. Orang Jawa, Sunda, Tionghoa, Batak, dll pasti juga bingung, karena emang attitude terhadap bahasa sering ambivalen...plin-plan dan gak jelas. Rapat RW di Kotabaru pakai Bahasa Indonesia, karena dianggap H dan Bahasa Jawa dianggap L, tapi di Kadipaten Kidul rapat RWnya pakai Bahasa Jawa, karena Bahasa Jawa H dan Bahasa Indonesia L.


Lihat lagi bungkus mie instannya. Ikuti instruksinya...tambah telor....selamat makan.

Thursday, May 14, 2009

Language Choice: Loe Mau Ngomong Apa?

Kalau di obrolan sebelumnya kita mengutak-atik scope of sociolinguist-chic dan contohnya adalah how pronunciation atau lebih tepatnya accent can cost lives (mengenang Bu In, dosen pronunciation luar biasa yang selalu menekankan akurasi, RIP), kali ini obrolan ini untuk mengenang Pak Hendro dosen reading aloud [a lot] (karena alot untuk lidah ngGodean saya) yang kalau ada mahasiswa yang reading-nya sasar-susur alias tidak karuan, beliau bilang: “Kowe ki arep matur apa?” yang bahasa gaulnya “Loe mo ngomong apa?”

Kita beruntung lahir dalam multilingual community alias masyarakat dengan banyak bahasa. Di Indonesia kebanyakan orang bisa berbicara paling tidak dua bahasa. Generasi yang lebih muda biasanya mengerti 3 bahasa, bahasa lokal, bahasa Indonesia dan Inggris.

Lebih hebatnya lagi, kita punya kecerdasan sosiolinguis-chic atau yang biasa disebut sociolinguitic competence karenanya. Orang gak harus mikir mau ngomong pakai bahasa apa waktu ketemu orang lain, langsung aja omong Jawa, Sunda, Indonesia, Mandarin, atau Inggris. Anak kecil aja langsung cerdas kalau dengan orang tua pakai bahasa lokal, kalau ketemu gurunya langsung pakai bahasa Indonesia. Coba bayangkan kalau harus mikir, kan jadi ribet.

Dulu orang yang ngomong satu bahasa saja itu yang dianggap orang normal oleh para ahli bahasa Eropa, kalau bisa ngomong banyak bahasa itu gak normal (mungkin karena kebanyakan masyarakat Eropa monolingual, jadi mereka ngiri dan kita-kita ini dianggap gak normal) padahal pada kenyataannya norma masyarakat adalah multilingual.

Coba bisa gak sehari ngomong pakai satu bahasa saja? Gak boleh pakai kata dari bahasa lain? Gak boleh ganti dari bahasa formal ke bahasa gaul? Atau seharian ngomong pakai bahasa gaul saja? Kalau pakai bahasa formal terus hidup jadi garing, kalau pakai bahasa gaul terus pasti ada banyak orang tua tersinggung, kan?

Nah coba sekarang lihat linguistic repertoire-mu sendiri alias kebiasaan berbahasamu. Apa saja yang mempengaruhi pilihan bahasamu?

1. Kalau kamu berbicara dalam lingkup keluarga, dengan bapakmu, tempatnya di rumah, topiknya merancang pesta penikahan kakakmu, bahasa apa yang kamu pakai? ……………………………………..

2. Kalau kamu berbicara dalam lingkup pertemanan, dengan teman sekelasmu, tempat di kampus, topiknya bintang film favorit, bahasa apa yang kamu pakai? …………………………………………………….

3. Kalau kamu berbicara dalam lingkup perkuliahan, dengan dosenmu, tempatnya di dalam kelas, topiknya perkuliahan yang sulit, bahasa apa yang kamu pakai? ……………………………………………….

Apa jawaban untuk tiga pertanyaan tadi? Which code do you use? Code mana yang kamu pakai? Code sih sebenarnya cuma istilah kerennya bahasa.

Tiga pertanyaan tadi sih masih bisa diperpanjang, misalnya kalau ngomong sama anjing pakai bahasa apa ya? (Tanya Dini (07), Patricia (04), Dea (05), atau BC (90). Kalau ngomong sama makluk halus pakai which code ya? (Tanya Mas Danang).

Nah ini contoh code yang ganti-ganti karena berbagai alasan.

Nah jadinya pilihan kode atau bahasa apa yang dipakai diantaranya dipengaruhi oleh: Domain (apa ranah obrolannya), addressee (ngomongnya sama siapa), topic (ngomongin apa), dan setting (ngobrolnya dimana). Setuju? Kalau gak percaya Tanya deh pada Holmes, Trudgill, dan Wardaugh dan teman-temannya.

Referensi:

Fishman, Joshua A. 1997. “The Socilogy of Language” in Sociolinguistics: a Reader and Coursebook . Coupland, Nikolas and Adam Jaworsky (eds.). New York: Palgrave.

Trudgill, Peter. 2000. Sociolinguistics: An Introduction to Language and Society. London: Penguin Books Ltd.

Sunday, May 10, 2009

Sociolinguis-chic: The Scope

Nah kalau kemarin kita ngutak-atik bagaimana sebuah form of address dan pronoun alias sapaan dan kata ganti bisa menggendong banyak makna yang tersirat, sekarang pertanyaannya: sebenarnya pada ngapain sih orang-orang kurang kerjaan yang kita sebut sociolinguists ini.
Misalnya orang-orang kayak Dell Hymes, William Labov, Joshua A. Fisman, atau Prof. Dr Soepomo Poedjosoedarmo atau yang biasa kita kenal sebagai Pak Pomo yang ngajar di S2 Kajian Bahasa Inggris USD.

Sebenarnya sih banyak yang bisa kita kerjakan dengan sociolinguis-chic, atau juga banyak manfaatnya kalau tahu dikit-dikit tentang sociolinguis-chic. Nyaleg kalau tahu socioling bakal terpilih, jualan lebih laris, belanja bisa lebih murah bahkan gratis. Singkatnya bisa pinter omong besar. Kenapa?

Karena menurut si Fishman (1997) nih sociolinguis-chic bermain-main dengan karakter variasi bahasa, fungsi bahasa, dan karakter penutur bahasa itu. Sedangkan kalau menurut si Janet Holmes (2001) sociolinguis-chic mengutak-atik hubungan antara bahasa dan masyarakat. Kenapa kita ngomongnya beda di konteks yang berbeda? Apa sih fungsi dan arti sosial bahasa? Nah dengan menguping orang ngomong kita paham hubungan sosial dalam sebuah masyarakat, dan bagaimana orang yang ngomong menunjukan identitas social mereka.

Penting gak sih?
Ternyata penting banget, masalah variasi bahasa misalnya, bukan sekedar masalah belanja dapat murah tapi masalah hidup dan mati. Bukan hanya masalah kalau ngomong Jawa kromo inggil bisa beli batik murah di pasar Beringharjo Jogja atau kalau bisa bilang lak ban go bisa dapat diskon di toko besi.

Aksen adalah masalah hidup atau mati.
Accent, a variety of speech differing phonetically from other varieties atau aksen atau
perbedaan ucapan (Matthews, 1997) bisa menjadi masalah yang serius. Cerita yang paling klasik adalah kata "Shibboleth" dalam Injil dalam kitab Hakim-hakim bab 12 ayat 6.

"...an incident recorded in the Bible as occuring over 3000 years ago. In a bloody incident involving two groups of Jews, the Gileadites and the Ephraimites, the victorious Gileadites impose a linguistic test on their opponents. Those who could not pronounce the 'sh' of "shibboleth" (meaning a river) but adopted the Ephraimite 's' were to be killed. For this reason, 42,000 men of Ephraim perished (Judges 12:6)" (Hodge and Kress, 1997).
Jadi yang aksennya beda, 's' bukan 'sy' dibunuh. Mungkin bagi yang percaya Injil sebagai catatan sejarah yang valid akan bilang setuju. Tapi bagi yang gak percaya akan menganggapnya sebagai dongeng saja. Tetapi ini kisah yang lebih baru, dari tahun 1999 dan 2001 ketika ada konflik antara Etnis Dayak dan Madura.

“Jayadi tak tahu pasti mengapa bisa lolos. Ia menduga, rombongan lelaki itu dari suku Dayak Iban, yang dikenal punya penciuman tajam. Seperti dilaporkan wartawan Gatra Suhartono, Dayak Iban inilah yang keluar-masuk kampung melakukan pemeriksaan lewat aroma. Kalau ada yang dianggap orang Madura, mereka berteriak, ''Di sini ada sapi....''

Yang tak punya kemampuan seperti itu melakukan seleksi secara konvensional, lewat bahasa. Warga pendatang disuruh menghitung satu sampai sepuluh, lalu diminta melafalkan kata ''kuning''. Bila sepuluh diucapkan sepoloh, dan koning untuk warna kuning, nyawa bisa putus.” (Indra, Fitriyah, Tantan, 2001)

Ini salah satu konflik sosial yang mengandung unsur kebahasaan. Variasi bahasa, perbedaan aksen [u] dan [o] bisa menjadi fatal. Contoh lain yang melibatkan sociolinguist adalah kasus penghinaan pejabat di media massa.

“Yayah B.K. Lumintaintang, 60 tahun, saksi ahli yang dihadirkan dalam sidang lanjutan perkara penghinaan terhadap Presiden Megawati, menilai judul-judul dan isi berita yang dimuat di harian Rakyat Merdeka tidak menghina presiden.” (Arvian, 2003)


Lumintaintang adalah seorang sosiolinguist dari Universitas Indonesia. Jadi bermain-main dan mengutak-atik bahasa dalam konteks sosial penting gak sih. Pikir sendiri. (http://www.sociolinguis-chic.blogspot.com/)

Referensi:
Arvian, Yandhrie. 2003. Saksi Ahli Menilai Harian Rakyat Merdeka Tidak Menghina Presiden www.tempo.co.id/hg/nasional/2003/08/04/brk,20030804-41,id.html

Fishman, Joshua A. 1997. “The Socilogy of Language” in Sociolinguistics: a Reader and Coursebook . Coupland, Nikolas and Adam Jaworsky (eds.). New York: Palgrave.

Matthews, P.H. 1996. Oxford Concise Dictionary of Linguistics. Oxford: OUP

Tantan, Hidayat, Nurul Fitriyah, dan Sigit Indra. 2001. Kayau-mengayau Membelah Sampit.
www.gatra.com/versi_cetak.php?id=4589

Friday, May 8, 2009

Sociolinguis-chic: Introduction (1)

Ouda Teda Ena
Sociolinguis-chic adalah istilah saya untuk sosiolinguistics. Mengapa harus diplesetkan ya? Saya kira bukan sekedar permainan kata supaya tidak membosankan tetapi juga memberi makna baru. Tetapi bukan sociolinguis-chick lho ya...

Chic adalah bahasa Perancis yang diadopsi ke bahasa Inggris yang artinya stylish alias keren tetapi kalau chick kan artinya anak ayam yang konotasinya kadang negatif, murahan atau penakut. Tapi bagi yang tidak suka linguistics karena dipikirnya membosankan mungkin istilah linguis-chick lebih tepat.

Menurut saya sosiolinguistics sangat chic, sangat keren. Kenapa? Lihat contoh-contoh social interactions dari Face Book berikut ini. Beberapa nama telah disamarkan demi alasan keamanan dan kenyamanan.


























Nah dari 8 contoh interaksi di FB tersebut ada berapa sapaan untuk saya? Ada berapa kata ganti untuk saya? Ada berapa bahasa yang dipakai? Kira-kira kenapa ya?

Nah giliran Anda, ada berapa sapaan untuk Anda? Adakah yang Anda sukai? Adakah sebutan yang Anda benci? Kenapa ya?

Itulah diantaranya tema-tema sociolinguis-chic. Chic kan? Area yang diutak-atik oleh sociolinguis-chic adalah bahasa yang dipakai dalam komunitas dan hubungannya dengan berbagai faktor sosial. Faktor sosial itu antara lain usia, gender, kelas sosial, ethnicity, komunitas, dan daerah. Sociolinguis-chic juga mengutak-atik hubungan bahasa dan power.

Coba lihat lagi contoh-contoh di atas. Forms of address atau sapaan untuk saya bermacam-macam. ESW menyapa saya dengan first name lengkap "Ouda" tapi RR, dalam contoh kedua menyapa saya dengan "Da" saja. Sedangkan AYS menyapa saya dengan "Om", AS dengan "Kang", VI dengan "Camerad", BB dengan "Dab", MY dengan "Pak", dan OAJ menyapa dengan "Mas". Bahkan FAP memanggil saya "Ndoro" sapaan honorific Jawa jaman feodal. Jadi dari sembilan contoh interaksi itu ada 9 forms of address yang berbeda-beda. Kenapa ya?

Perhatikan juga pemakaian pronoun atau kata gantinya. Ada "Kamu"; "You"; "Anda"; "Kowe"; dan "Sampeyan". Kenapa lagi ya?

Belum lagi campuran bahasa yang dipakai. Contoh pertama misalnya, mencampur tiga bahasa: Inggris, Indonesia, dan Jawa. Kenapa juga ya?

Mengasyikan memang mengutak-atik speech events atau peristiwa kebahasaan. Nah yang bagian pertama dan kedua nanti kita coba otak-atik di pakai teori politeness sedang bagian ketiga dilihat dengan mata code switch alias alih kode.

Untuk sementara waktu, pikir-pikir dulu Anda pernah disapa dengan sebutan apa saja dan kalau berbicara berapa bahasa yang Anda campur aduk. Kenapa ya? Es campur bahasa resepnya apa ya? Campurannya enak atau kadang jayus ya?