Wednesday, June 24, 2009

Rhyming Slang: Wangsalan dan Cockney



Slang adalah sebuah gejala yang biasa dalam hampir setiap bahasa. Sekelompok pemakai bahasa membuat kode-kode rahasia yang hanya bisa dipahami oleh kelompok itu.

Nah yang asyik itu membandingkan dua kota dan dua bahasa. Jogja dan London Timur, apa yang sama? Dua-duanya punya rhyming slang atau slang yang berdasarkan persamaan bunyi.

Pernah dengar belum ‘njanur gunung’ dalam bahasa Jawa? ‘Janur’ adalah daun kelapa muda yang masih muda. Nah pohon kelapa tidak ada di gunung biasanya, yang mirip dengan pohon kelapa adalah pohon aren. Maka kata kuncinya adalah AREN. Jadi janur gunung itu aren, kata yang suaranya mirip adalah “kadi ngaren” yang artinya TUMBEN.

Contoh lain dari wangsalan antara lain:

SARUNG JAGUNG nama lainnya KLOBOT, suara yang mirip ABOT yang artinya BERAT.
JENANG GULA nama lainnya GELALI, suara yang mirip LALI yang artinya LUPA.
BALUNG JANUR nama lainnya SADA, suara yang mirip USADA yang artinya OBAT.
WOHING AREN nama lainnya KOLANG-KALING, suara yang mirip ELING yang artinya INGAT.
RONING MLINJO nama lainnya SO, suara yang mirip NGASO yang artinya ISTIRAHAT.



Nah, siapa mau menambah daftar wangsalan atau rhyming slang dalam bahasa Jawa. Nampaknya dalam Bahasa Indonesia gejala bahasa ini tidak muncul. Rhyming slang yang ada dalam bahasa Indonesia biasanya berbentuk pantun, tanpa ada sesuatu yang tersembunyi.

Nah gejala yang mirip justru ada dalam Bahasa Inggris dialek East London. Rhyming slang di sana biasanya disebut Cockney dialect. Mungkin masyarakat East London karakternya mirip dengan orang Jawa. Menurut salah satu website BBC “East Londoners obviously have more time to say what they want to say, and are more paranoid about being overheard.” (www.bbc.co.uk/dna/h2g2/alabaster/A649)

Masih dari sumber yang sama, contoh Cockney atau rhyming slang di East London antara lain adalah:


ADAM AND EVE maksudnya BELIEVE contohnya: “I don't bloody Adam and Eve it!”
BACON AND EGGS maksudnya LEGS contohnya: “She's got a lovely set of Bacons”
BRITNEY SPEARS maksudnya BEERS contohnya: “Give us a couple of Britney's will ya?”
DOG AND BONE maksudnya PHONE contohnya: “She's always on the Dog.”
LEMON SQUEEZY maksudnya EASY contohnya: “It was Lemon, mate.”

Contoh yang lain misalnya ada di www.businessballs.com/cockney.htm atau www.bbc.co.uk/dna/h2g2/alabaster/A649

Nah jadinya miripkan rhyming slang Jawa dan London? Dua-duanya mengeplotasi kemiripan bunyi. Namun, rhyming slang Jawa lebih rumit karena selain suara wangsalan atau rhyming slang Bahasa Jawa melibatkan arti, sedangkan dalam cockney tidak.

Dalam cockney misalnya, DOG and BONE maksudnya PHONE. Kalau dalam Bahasa Jawa harus tahu artinya dulu baru kemudian mencari kata yang suaranya mirip. JENANG GULA artinya GELALI yang suaranya mirip LALI. Jadi kalau artinya tidak diketahui, antara JENANG GULA dan LALI sepertinya nggak nyambung.

Jadi, wangsalan atau rhyming slang Jawa lebih rumit. Menurut saya wangsalan dan cockney bisa melatih kecerdasan fonologis atau phonology competence. Saya tidak setuju dengan BBC yang mengatakan bahwa rhyming slang itu kurang kerjaan dan paranoid. Ini adalah seni berbahasa yang melatih kecerdasan fonologis.

Lebih jauh, wangsalan juga melatih kecerdasan semantis atau semantic competence karena wangsalan juga melibatkan arti.

Nah akhirnya, selamat melatih kecerdasan fonologis dan semantis dengan membuat wangsalan-wangsalan baru.

Dari berbagai sumber:
www.businessballs.com/cockney.htm
www.bbc.co.uk/dna/h2g2/alabaster/A649

Wednesday, June 10, 2009

Quo vadis, Juragan?

Salamnya Orang Indonesia [bagian Jawa mungkin juga bagian lainnya]


Sebenarnya saya bertanya-tanya, apa sih salam orang Indonesia waktu mereka saling bertemu? Benarkah “Selamat Pagi” dan kawan-kawannya itu. Setelah observasi di lapangan dan berbagai pengalaman ternyata BUKAN.
KESIMPULAN:
Salam orang Indonesia waktu mereka saling bertemu kita dalam perjalanan adalah:

“Dari mana?”
“Mau kemana?”

Dalam bahasa Jawapun demikian.

“Badhe tindak pundi?” Atau ngoko “Neng Endi?”
“Saking pundi?” Ngokonya “Seka
Endi?”


Jadi kebanyakan buku bahasa Indonesia dan Jawa untuk pembelajar asing itu kurang pas. Karena dalam bagian salam yang ditulis biasanya hanya “Selamat Pagi” dan yang sejenisnya. Sepertinya hanya ikut-ikutan buku pelajaran bahasa Inggris.

Nah, sebagai orang yang gemar sociolinguis-chic saya mengamati orang yang lalu lalang dan bertemu di jalan mereka tidak saling menyapa dengan “Selamat pagi” dan sejenisnya tetapi lebih menanyakan “Dari mana, mau ke mana”.

Orang Jawa di desa-desa lebih silly lagi. Sudah tahu pakai caping alias topi bambu dan bawa cangkul masih di Tanya:

“Tindak sabin Pakdhe?” (Mau ke sawah Paman?)


Sebenarnya bias dijawab:

“Apa kowe wuta?” (Apakah kamu buta?)

Karena jelas kan, orang yang bertopi bambu dan membawa cangkul itu pasti akan ke sawah, kok masih bertanya. Tapi sang petanipun tidak kalah absurdnya karena dia menjawab salam anak yang berseragam merah putih, yang membawa tas sekolah itu:

“Iya. Arep menyang sekolah, Le?” (Iya. Akan pergi ke sekolah, Nak?)


Benarkah orang Indonesia [bagian Jawa atau mungkin juga bagian lain] silly and stupid? Bagi yang tidak paham makna salam “Mau kemana?” akan berkata YA orang Indonesia stupid, silly, dan cuma basa-basi.

Saya punya pengalaman mengajar orang Amerika bahasa Indonesia. Suatu hari dia merasa tidak tahan dengan orang Indonesia dan berkata kepada saya.

“Indonesians are very very NOSY. They want to know everything…what I want to do and what I did. Even the doorman at the hotel, he ALWAYS asked me: ‘Mau ke mana?’ and ‘Dari mana?’ It’s none of his business.”


Ada yang menganggap salam “dari mana, mau ke mana” silly dan basa-basi karena sudah jelas. Ada yang menganggapnya sebagai nosy dan ikut campur.

Namun kalau kita selami, salam “dari mana, mau ke mana” mempunyai arti filosofi yang sangat dalam. Dalam bahasa Latin salam ini adalah “QUO VADIS” sebuah pertanyaan yang bisa menyadarkan seseorang tentang tujuan hidup, arah hidup.

Sebuah salam luar biasa yang saling menyadarkan, anak sekolah menyadarkan petani dan petani menyadarkan anak sekolah tentang tujuan hidupnya. Setiap hari orang bertemu di jalan mereka saling menyadarkan tujuan hidup mereka “Quo vadis, mau ke mana?”

Sejarahnya, sapaan inilah yang menyadarkan Petrus akan tujuan hidupnya. Waktu terjadi huru-hara di Roma, di mana orang-orang Kristen dibantai, Petrus mau ngacir menyelamatkan diri. Nah di jalan dia ketemu Yesus.

Petrus bertanya: Domine, quo vadis? (Juragan, mau ke mana nih?)
Yesus menjawab: Eo Romam iterum crucifigi. (Aku mau ke Roma untuk disalib lagi nih.)

Saling sapa inilah yang menyadarkan Petrus tujuan hidupnya.

Jadi, “Dari mana, mau ke mana?” itulah salam yang stupid, silly, nosy, dan basa-basi TETAPI bernilai filosofi yang sangat tinggi.

So, sekarang kita mau kemana? Quo vadis, juragan?




Tuesday, June 9, 2009

Code Switching di Rapat RW

Ini oleh-oleh dari rapat Rw 4 Kelurahan Kotabaru, Yogyakarta. Hipotesa saya sebelum saya mengikuti rapat akan ada banyak code switch antara Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa. Rapat diadakan dalam Bahasa Indonesia, dihadiri oleh pengurus RT, RW, dan Pak Lurah, peserta rapat ada 34 orang.
Seperti dugaan saya code switch dari Bahasa Indonesia ke Bahasa Jawa ada cukup banyak. Misalnya:
-Terima kasih kepada Pak Lurah yang sudah kersa
datang di sela-sela kesibukannya.
Ada yang menarik waktu kata dari bahasa Jawa dipakai karena ada kata yang ada di Bahasa Jawa dan juga Bahasa Indonesia tetapi artinya berbeda. Kata itu adalah kesel dan kumpulan.
-Saya selake datang meskipun saya masih kesel.
-Foto-foto waktu kumpulan bisa ditunjukkan pada
saat lomba antar kelurahan.
Kesel dalam bahasa Jawa berarti capai, namun dalam Bahasa Indonesia bisa berarti marah, atau jengkel. Sedangkan kumpulan dalam bahasa Jawa berarti rapat, sedang dalam bahasa Indonesia berarti koleksi.

Yang sudah saya duga sebelumnya tuh switch ke bahasa Arab dan Inggris. Bahasa Arab dipakai pada awal dan akhir ujaran yaitu frasa:
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh
dan Wasalamu alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh.

Ada dua hal yang menarik dari switch ke Bahasa Inggris. Yang pertama nih adalah code mixing atau yang biasa disebut juga integrated loan words.
- Pak Nala (namanya saya samarkan) biasanya yang berspeak-speak dengan keluarga pemulung yang tinggal
di dekat TPS.
Awalan ber digabung dengan kata speak, dan kata speak diulang, diperlakukan seolah kata Bahasa Indonesia. Hal menarik kedua yang nggak saya duga tuh pemakaian sentential switching, atau seluruh kalimatnya Bahasa Inggris.
- Jadi lomba antar kelurahan ini fair play, nggih
bapak-ibu. My game is fair play.
Yang menarik lainnya adalah kata serapan dari bahasa Inggris yang mirip-mirip suka pada bingung.
- Jadi nanti ada dana untuk intensifinsentif, insentif
nggih…untuk pelaksanaan program nggih…
- Salah satu program kita adalah membuat sumur peresapan untuk konversi air…konservasi…nggih…konservasi air…
Yang sama sekali tidak saya duga adalah masih adanya switch ke Bahasa Belanda, entah disadari atau tidak oleh pemakainya.
- Saya kan tidak datang pada pertemuan itu..kok saya malah dibenum(dibenoem) jadi ketua…
- Sebelum ada kunjungan dari tim penilai paling tidak kita spel sekali upaya tahu mau nabuh apa.
Kata benoumd dalam bahasa Belanda berarti diangkat, kata aktifnya adalah benoumen yang artinya mengangkat. Sedangkan kata spel adalah kata benda yang berarti permainan sandiwara atau bisa juga musik, kata kerjanya adalah spelen yang berarti bermain. Konteks kalimat dalam rapat RW itu adalah latihan bermain gamelan, jadi tidak terlalu jauh juga dari kata aslinya….

Rapat bulan depan suguhannya apa ya? Ada data linguis-chic yang tak terduga dan sedap nggak ya?

Kerata Basa: Ngawurnya (cerdasnya) Orang Jawa


Kali ini obrolan selingan yang tidak berhubungan langsung dengan sociolinguist-chic tapi tetap chic.

Mengapa piring disebut piring, mengapa tidak dinamai plate? Kalau kita Tanya orang Jawa generasi yang agak lama, dia akan jawab: “Piring artinya sePI kalau miRING.”

Nah kalau kita tanya Shakespeare, penulis Inggris yang kondang itu, dia pasti nggak setuju, dia kan pernah nulis gini:


'Tis but thy name that is my enemy;
Thou art thyself, though not a Montague.
What's Montague? it is nor hand, nor foot,
Nor arm, nor face, nor any other part
Belonging to a man.
O, be some other name!
What's in a name? that which we call a rose
By any other name would smell as sweet;
So Romeo would, were he not Romeo call'd,
Retain that dear perfection which he owes
Without that title. Romeo, doff thy name,
And for that name which is no part of thee
Take all myself. (Shakespeare. 1594)

‘Mawar’ meskipun disebut ‘ketela’ tetapa aja sweet, menurut dia. Tapi wong Jawa berpendapat lain. ‘Telinga' itu disebut ‘kuping’ karena kaKU dan njepiPING, nasi disebut ‘sega’ karena mbeseSEG dan menyebabkan leGA. Fenomena inilah yang biasa disebut kerata basa. Fenomena ini sebenarnya bertentangan dengan teori linguistics yang sudah ada.


Menurut teori kan hanya ada 2 hubungan antara bunyi bahasa dan arti. Yang satu onomatopoeic atau menirukan suara alam, misalnya ‘tokek ‘disebut tokek karena suaranya tokek-tokek. Nah yang satunya hubungannya arbitrary, semena-mena, atau ngawur.“…kaum naturalis, percaya adanya hubungan intrinsik antara bunyi bahasa dengan makna yang diacu, dan kaum konvensionalis, beranggapan bahwa hubungan itu hanyalah karena konvensi dan sifatnya sewenang-wenang.”(Sumarsono, 2004)


Rupanya wong Jawa kurang puas dengan penjelasan bahwa hubungan antara bunyi dan arti hanyalah ngawur, maka mereka membuat kengawuran lebih lanjut.


Gedhang= digeget bar madhang (digigit sehabis makan)
Kerikil= keri neng sikil (geli di kaki)

Bahkan kata-kata yang berhubungan dengan teknologi, yang kemungkinan besar adalah kata serapanpun dicarikan arti.


Sepeda= asepe tidak ada (Asapnya tidak ada)
Sepur= asepe metu dhuwur (asapnya
keluar dari atas)

Bisa saja fenomena ini dianggap sebagai sebuah kengawuran wong Jawa, tetapi bisa juga dipandang sebagai semacam filsafat bahasa gitu.

Coba simak yang ini, pemaknaan terhadap kata melalui kerata basa yang mengacu pada ide yang lebih bersifat abstrak. Pemaknaan ini lebih mendalam yang berhubungan dengan nilai ketuhanan.

Ndelalah atau ndilalah yang berarti kebetulan adalah bukan kebetulan sama sekali bagi orang Jawa. Ini menunjukkan sebuah religiositas yang sangat tinggi karena selalu ada campur tangan Tuhan dalam setiap peristiwa, dalam setiap kebetulan.


1. ndelalah = ngandel marang Allah ( percaya kepada Tuhan)

2. ndilalah = adiling Allah (keadilan Tuhan)


Nah pemakai bahasa Jawa generasi lama berusaha memaknai arbitrariness kata dan makna. Pemakai bahasa senantiasa berusaha memahami hidup melalui pemaknaan terhadap kata. Kita sekarang bagaimana ya? ….mana sempat…
Tapi kayaknya asyik lho dicoba…memaknai hidup melalui pemaknaan kata. Misalnya KOMPUTER atau FACEBOOK [pesbuk]… apa ya makna ngawurnya? Siapa mau coba? Siapa punya kerata basa baru?


Referensi:

Robson, Stuart dan Singgih Wibisono. 2002. Javanese English Dictionary. Hongkong: Periplus Edition Ltd.

Arifin, Syamsul. 2006. Tata Bahasa Jawa Mutakhir. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Piyono, Joko. 2005. Kawruh Pepak Basa Jawa Anyar. Surakarta: Penerbit Pustaka Mandiri.

Sumarsono. 2004. Buku Ajar Filsafat Bahasa. Jakarta: Grasindo.

Crane, Tim. 1995. Meaning. Dalam Honderich, Tom (ed.) The Oxford Companion to Philosophy. Oxford: Oxford University Press.