Tuesday, June 9, 2009

Kerata Basa: Ngawurnya (cerdasnya) Orang Jawa


Kali ini obrolan selingan yang tidak berhubungan langsung dengan sociolinguist-chic tapi tetap chic.

Mengapa piring disebut piring, mengapa tidak dinamai plate? Kalau kita Tanya orang Jawa generasi yang agak lama, dia akan jawab: “Piring artinya sePI kalau miRING.”

Nah kalau kita tanya Shakespeare, penulis Inggris yang kondang itu, dia pasti nggak setuju, dia kan pernah nulis gini:


'Tis but thy name that is my enemy;
Thou art thyself, though not a Montague.
What's Montague? it is nor hand, nor foot,
Nor arm, nor face, nor any other part
Belonging to a man.
O, be some other name!
What's in a name? that which we call a rose
By any other name would smell as sweet;
So Romeo would, were he not Romeo call'd,
Retain that dear perfection which he owes
Without that title. Romeo, doff thy name,
And for that name which is no part of thee
Take all myself. (Shakespeare. 1594)

‘Mawar’ meskipun disebut ‘ketela’ tetapa aja sweet, menurut dia. Tapi wong Jawa berpendapat lain. ‘Telinga' itu disebut ‘kuping’ karena kaKU dan njepiPING, nasi disebut ‘sega’ karena mbeseSEG dan menyebabkan leGA. Fenomena inilah yang biasa disebut kerata basa. Fenomena ini sebenarnya bertentangan dengan teori linguistics yang sudah ada.


Menurut teori kan hanya ada 2 hubungan antara bunyi bahasa dan arti. Yang satu onomatopoeic atau menirukan suara alam, misalnya ‘tokek ‘disebut tokek karena suaranya tokek-tokek. Nah yang satunya hubungannya arbitrary, semena-mena, atau ngawur.“…kaum naturalis, percaya adanya hubungan intrinsik antara bunyi bahasa dengan makna yang diacu, dan kaum konvensionalis, beranggapan bahwa hubungan itu hanyalah karena konvensi dan sifatnya sewenang-wenang.”(Sumarsono, 2004)


Rupanya wong Jawa kurang puas dengan penjelasan bahwa hubungan antara bunyi dan arti hanyalah ngawur, maka mereka membuat kengawuran lebih lanjut.


Gedhang= digeget bar madhang (digigit sehabis makan)
Kerikil= keri neng sikil (geli di kaki)

Bahkan kata-kata yang berhubungan dengan teknologi, yang kemungkinan besar adalah kata serapanpun dicarikan arti.


Sepeda= asepe tidak ada (Asapnya tidak ada)
Sepur= asepe metu dhuwur (asapnya
keluar dari atas)

Bisa saja fenomena ini dianggap sebagai sebuah kengawuran wong Jawa, tetapi bisa juga dipandang sebagai semacam filsafat bahasa gitu.

Coba simak yang ini, pemaknaan terhadap kata melalui kerata basa yang mengacu pada ide yang lebih bersifat abstrak. Pemaknaan ini lebih mendalam yang berhubungan dengan nilai ketuhanan.

Ndelalah atau ndilalah yang berarti kebetulan adalah bukan kebetulan sama sekali bagi orang Jawa. Ini menunjukkan sebuah religiositas yang sangat tinggi karena selalu ada campur tangan Tuhan dalam setiap peristiwa, dalam setiap kebetulan.


1. ndelalah = ngandel marang Allah ( percaya kepada Tuhan)

2. ndilalah = adiling Allah (keadilan Tuhan)


Nah pemakai bahasa Jawa generasi lama berusaha memaknai arbitrariness kata dan makna. Pemakai bahasa senantiasa berusaha memahami hidup melalui pemaknaan terhadap kata. Kita sekarang bagaimana ya? ….mana sempat…
Tapi kayaknya asyik lho dicoba…memaknai hidup melalui pemaknaan kata. Misalnya KOMPUTER atau FACEBOOK [pesbuk]… apa ya makna ngawurnya? Siapa mau coba? Siapa punya kerata basa baru?


Referensi:

Robson, Stuart dan Singgih Wibisono. 2002. Javanese English Dictionary. Hongkong: Periplus Edition Ltd.

Arifin, Syamsul. 2006. Tata Bahasa Jawa Mutakhir. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Piyono, Joko. 2005. Kawruh Pepak Basa Jawa Anyar. Surakarta: Penerbit Pustaka Mandiri.

Sumarsono. 2004. Buku Ajar Filsafat Bahasa. Jakarta: Grasindo.

Crane, Tim. 1995. Meaning. Dalam Honderich, Tom (ed.) The Oxford Companion to Philosophy. Oxford: Oxford University Press.

3 comments:

  1. krikil = keri ing sikil
    kripik = ???







    (tempe diiris tipis digoreng tepung :p)

    ReplyDelete
  2. kula maturnuwun nggeh, mugi-mugi informasinipun panjenengan saged bermanfaat damel tiang-tiang liyane. yen perlu dibahas pindah filosofinipun basa jawa.

    ReplyDelete